Namun upayanya tersebut tidak banyak menolong, apalagi saat Pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berdampak pada penutupan seluruh lokasi wisata di Siak, termasuk ikon Kabupaten Siak, Istana Asserayah Al-Hasyimiyah. Alhasil tiada lagi wisatawan yang datang ke Siak dan hilanglah peluang calon konsumennya.
Atas kondisi tersebut, Aznawati memilih menutup kedainya dan lalu work from home (WFH) dengan mengandalkan satu unit mesin jahit manual dibantu anak gadisnya, Aznawati mulai merambah media sosial untuk berjualan.
“Alhamdulillah, agak bernafas, bahkan sempat mendapat pesanan 600 buah masker untuk sebuah acara pesta”, bebernya.
Dalam sehari, Aznawati bisa memproduksi sebanyak 10 buah tanjak dan 30 buah masker dengan harga fariatif, antara Rp.15 ribu-35 ribu untuk masker berbahan songket dan tenun Siak serta Rp.100 ribu-120 ribu untuk tanjak.
Ditanya tentang intervensi dari Pemkab Siak, Aznawati mengaku mendapat binaan dari Dinas Koperasi dan UMKM Siak serta mendapat kucuran pinjaman dana khusus UMKM dari Bank setempat.
Aznawati berharap, pandemic COVID-19 segera berakhir sehingga usahanya kembali lancar seperti sedia kala sebelum adanya wabah COVID-19.
Tentang Tanjak
Tanjak adalah salah satu aksesoris pakaian untuk lelaki di Ranah Melayu. Tanjak dikenakan di kepala sebagai simbol masyarakat Melayu. Tanjak memiliki lambang kewibawaan dikalangan masyarakat Melayu. Semakin tinggi dan kompleks bentuknya akan menunjukkan semakin tinggi pula status sosial sipemakainya.
Tanjak memiliki berbagai nama sesuai model dan bentuknya. Dikutip gardaberita.com dari dphlamriau.org, nama-nama tanjak diantaranya, tanjak dendam tak sudah, tanjak bersusun, tanjak sehari bulan, tanjak laksmana, tanjak tebing runtuh, tanjak dua sejumbai, tanjak balik punggung, tanjak belah mumbang dan masih banyak nama lainnya.
Di Pemkab Siak sendiri, telah sedari lama menerapkan aturan pemakaian tanjak lengkap dengan busana Melayu bagi pegawai (pria) setiap hari Jum’at. (GB2)